
Di tengah tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks, muncul wacana kontroversial: memasukkan siswa yang dianggap “nakal” ke barak militer. Sebagian pihak menilai ini sebagai solusi atas kenakalan remaja, namun banyak pakar pendidikan dan psikolog justru angkat suara untuk menentangnya. Sebab, masa depan generasi muda tak cukup dibentuk melalui disiplin militer semata, melainkan dengan pendekatan yang membina karakter dari dalam.
Mendidik Bukan Menghukum: Filosofi Dasar Pendidikan yang Terlupakan
Pendidikan bukan sekadar cara untuk mencetak manusia taat perintah, tetapi jalan untuk membentuk manusia yang berpikir kritis, empatik, dan bertanggung jawab. Kebijakan pemindahan siswa “bermasalah” ke barak militer terkesan reaktif, bukan preventif. Ia seolah hanya menyingkirkan masalah tanpa menyentuh akarnya. Ketika anak dihukum tanpa dibimbing, mereka akan belajar takut, bukan memahami. Padahal, yang dibutuhkan bangsa ini bukan anak-anak yang patuh karena terpaksa, tetapi generasi yang sadar nilai, etika, dan makna hidup bersama.
BACA JUGA: “Sistem Didik atau Sistem Tekan? Inilah yang Terjadi Saat Sekolah Kehilangan Jiwa“
Dampak Psikologis yang Tak Boleh Diabaikan
Memasukkan remaja ke lingkungan militer tanpa kesiapan psikologis bisa menimbulkan trauma dan menurunkan kepercayaan diri. Alih-alih membentuk disiplin, pendekatan keras justru bisa menimbulkan perlawanan emosional. Banyak anak justru akan semakin tertutup, merasa ditolak oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Di sinilah pentingnya peran guru, konselor, dan lingkungan pendidikan yang suportif sebagai pilar pemulihan moral dan perilaku anak.
Mengapa Barak Militer Bukan Jawaban untuk Siswa Nakal?
-
Tidak Menyelesaikan Akar Masalah
Kebanyakan kenakalan remaja muncul karena lingkungan keluarga, tekanan sosial, atau kurangnya wadah ekspresi. Pendekatan militer tidak menyentuh masalah ini. -
Berisiko Menimbulkan Trauma Psikologis
Lingkungan militer yang keras dapat memicu trauma, apalagi jika dijalani secara paksa tanpa pemahaman. -
Mengaburkan Makna Rehabilitasi Pendidikan
Sekolah seharusnya menjadi tempat pengembangan potensi, bukan tempat pemilahan siapa yang “layak” dan siapa yang “dibuang”. -
Bisa Menciptakan Stigma Sosial
Anak yang dikirim ke barak bisa dicap “anak bermasalah”, dan stigma ini bisa terbawa seumur hidup, memengaruhi masa depan mereka. -
Berpotensi Melanggar Hak Anak
Pendidikan harus memperhatikan prinsip hak anak, termasuk hak untuk dibimbing secara layak, bukan dihukum dengan cara militeristik.
Melihat Kembali Arah Pendidikan Nasional
Bangsa besar dibangun oleh pendidikan yang merangkul, bukan menyingkirkan. Kebijakan pendidikan yang baik lahir dari pemahaman bahwa setiap anak, betapapun bandel atau memberontak, tetaplah individu yang butuh didengar, dipahami, dan diarahkan. Bukan dimasukkan ke barak karena dianggap gagal. Jika pendidikan kehilangan empatinya, maka ia telah kehilangan fungsinya. Maka, saat kita bicara tentang siswa “nakal”, mari kita juga bicara tentang kehadiran orang dewasa yang mendidik dengan cinta, bukan cemas.